POLARISASI DAN PERPECAHAN POLITIK ALA ANIES
BASWEDAN
Di era
informasi ini, pesatnya perkembangan teknologi telah memberi dampak yang sangat
besar pada interaksi politik sebuah negara. Umumnya penggunaan media sosial
oleh masyarakat membuat dinamika yang dialami sebuah negara demokrasi begitu
berbeda dengan keadaan 20 tahun ke belakang.
Kalau zaman
dulu mengutarakan pendapat membutuhkan usaha yang begitu besar, sekarang kita
hanya perlu memencet beberapa tombol saja untuk membuat pendapat kita didengar
oleh banyak orang. Kalaupun tidak dilakukan di media sosial, setiap aksi yang
dilakukan di jalanan atau di depan gedung pemerintahan kini dapat dengan
mudahnya tersebar akibat eksposur internet.
Yap, mungkin
kita sekarang hidup di zaman yang paling “bebas”.
Meski
demikian, tidak dipungkiri bahwa belakangan ini sejumlah orang justru malah
merasa takut bila mengeluarkan kritik di media sosial, khususnya terhadap
pemerintah. Ditambah dengan disahkannya UU ITE dan KUHP, banyak orang kini
merasa lebih was-was dibanding sebelumnya terhadap keutuhan kebebasan
berpendapat di Indonesia.
Terkait itu,
belakangan ini bakal calon presiden (capres), Anies Baswedan mengeluarkan
pernyataan yang cukup menyentil pemerintah. Dalam sebuah podcast bersama Imam
Priyono dan Hendri Satrio di kanal YouTube R66 Newlitics, Anies menyinggung
pemerintah yang menurutnya kerap seakan “mematikan” kritik.
Dia juga
menilai, ketidaksependapatan dalam sesuatu pasti akan terjadi dan adalah hal
yang normal. Malahan, justru akan jadi edukasi pada publik jika kritik-kritik
yang disampaikan pada masyarakat bisa dijawab oleh pemerintah.
Sontak,
pernyataan Anies itu menuai respons dari beberapa politisi, khususnya dari
petahana. Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily, contohnya, meminta Anies
untuk “tidak asal bicara”. Menurutnya, pemerintah saat ini sudah terbuka dan
menjujung demokrasi serta semangat kebebasan berpendapat.
Tidak hanya
itu, Juru Bicara (Jubir) Muda DPP PKB Dira Martamin bahkan menjuluki Anies
sebagai “Thanos” karena pernyataannya yang seakan menunjukkan dirinya adalah
orang yang paling benar dan paling hebat.
Namun, di
balik perdebatan tentang apakah pemerintah benar-benar anti kritik, ada satu
pertanyaan penting lain yang luput dipertanyakan orang, yakni mengapa Anies
tiba-tiba melontarkan pernyataan kontroversial tersebut? Apakah ini murni hanya
kritik, atau justru ada motif politik lain di baliknya?
Akal-Akalan
Anies Agar Tetap Mengudara?
Ini bukan
pertama kalinya Anies menciptakan isu politik yang begitu ramai diperbincangkan
banyak orang. Mulai dari tahun 2020 lalu contohnya, Anies pernah mengunggah
foto di akun Instagramnya sembari memegang buku berjudul How Democracies Die
karya Steven Levitsky dan Daniel Zibllat. Foto itu dianggap sebagai kode keras
oleh para netizen dan memicu perdebatan yang cukup ramai.
Kemudian,
ketika perayaan Idul Adha terakhir, Anies juga jadi buah bibir publik karena
menyerahkan hewan kurban berupa satu ekor sapi dengan nomor urut “024”.
Kembali, hal itu memicu perbincangan sengit karena banyak yang melihatnya
sebagai kode kesiapan Anies untuk menjadi capres di Pemilihan Presiden 2024
(Pilpres 2024) nanti.
Peristiwa
kontemporer yang juga tidak boleh kita lupakan adalah pada tanggal 3 Oktober
silam, kala Partai NasDem mengumumkannya sebagai bakal capres pilihan untuk
2024 nanti. Saat itu perbincangan di internet soal Anies begitu memuncak.
Meskipun
tidak bisa konfirmasi secara pasti, apa yang ditimbulkan dari sejumlah aksi
Anies di media sosial menyaratkan adanya motivasi pembentukan top of mind
awareness politik.
G Schweiger
dan M Adami dalam bukunya The Non Verbal Image of Politicians and Political
Practices mengemukakan bahwa gambaran seorang kandidat yang pertama kali muncul
di kepala masyarakat ketika mereka mengingat suatu aktivitas politik adalah
bentuk kampanye yang paling efektif.
Mengutip
Schweiger dan Adami, dapat disimpulkan bahwa pemilih seringkali dapat
dipengaruhi oleh sosok orang yang memberi kesan dalam tiap penampilannya di
media. Meskipun terdapat pencitraan yang mungkin kurang rasional atau bahkan
terlihat negatif, pemilih akan tetap menaruh perhatian pada kandidat yang
sering dibincangkan media karena efek terkesan yang tertanam di benak
pikirannya.
Mengambil
pandangan tadi, maka bisa diartikan bahwa strategi politik top of mind
awareness berlaku layaknya program brand awareness suatu bisnis. Jika suatu
produk dikenal oleh banyak orang dan selalu muncul di iklan-iklan, maka besar
kemungkinannya produk itu akan jadi pilihan pertamanya.
Nah, bisa
jadi, apa yang dilakukan Anies melalui sejumlah sensasi politik tentangnya yang
kerap muncul, tidak lain bertujuan untuk membuat namanya tetap “mengudara” di
sejumlah headline media.
Kalau
anggapan ini benar, maka Anies pun sebenarnya mungkin tidak terlalu peduli
dengan respons yang dimunculkan oleh sejumlah politisi terhadap pernyataannya,
karena mereka sesungguhnya telah membantu Anies agar tetap menjadi salah satu
tokoh politik yang paling sering diperbincangkan.
Oleh karena
itu, sepertinya masuk akal bila kita kemudian menilai para politisi dan
pengamat yang merespons Anies sebagai korban “pancingan” politik. Jangankan
mereka, kita dan teman-teman kita pun mungkin selama ini bisa disebut sebagai
korban pancingan, jika ikut memperdebatkan apa yang sedang dilakukan oleh Anies
di internet.
Di satu
sisi, mungkin teknik seperti inilah yang efektif untuk digunakan dalam Pilpres
2024. Alih-alih membuang tenaga dan uang yang banyak untuk kampanye blusukan,
misalnya, seorang kandidat hanya perlu melempar pernyataan kontroversial agar
ia tetap diperbincangkan oleh orang-orang.
Akan tetapi,
terkhusus manuver terakhir Anies terkait pernyataannya tentang pemerintah yang
anti kritik, hal ini sebenarnya diindikasi memicu polarisasi, yakni antara
mereka yang yakin pemerintah memang kerap mematikan kritik, dan mereka yang
membela pemerintah.
Jangankan
jauh-jauh, di tubuh Partai Golkar sendiri pernyataan Ace tentang Anies yang
tidak boleh asal bicara dikritik politikus Golkar sekaligus Aktivis Kolaborasi
Warga Jakarta, Andi Sinulingga. Andi menilai Ace tampak seperti jubir
pemerintah. Ia pun cenderung justru membela Anies dengan mengatakan apa yang
dikatakan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut sebenarnya mengarah pada
pemerintah secara umum, bukan rezim tertentu.
Dengan
adanya fenomena ini, pantas jika kita bertanya, apakah taktik sensasi politik
ala Anies ke depannya justru akan memicu polarisasi dan perpecahan politik?
Anies
Butuh Polarisasi?
Demokrasi,
kata yang satu ini memiliki jutaan makna. Tapi umumnya, ketika mendengar kata
demokrasi, apa yang dibayangkan orang-orang adalah suatu sistem pemerintahan
yang hampir idealistik, di mana setiap aspirasi masyarakat bisa disalurkan dan
persaingan politik dilakukan secara adil.
Akan tetapi,
ambisi manusia yang secara individual kerap membuatnya bersiteru dengan satu
sama lain justru malah menciptakan situasi yang begitu unik terkait persaingan
politik di dalam suatu sistem demokrasi. Banyak pengamat politik yang menilai
sistem demokrasi memicu adanya penciptaan musuh artifisial atau musuh buatan.
Mengutip
Michael Ignatieff dalam tulisannya The Politics of Enemies, secara naluriahnya,
kontestasi dalam demokrasi membutuhkan adanya musuh. Ini karena dengan adanya
musuh akan banyak pula isu yang bisa dipolitisasi.
Maka dari
itu, ibarat persaingan para penggiat usaha di pasar bebas, agar dapat
memperoleh konsumen yang begitu banyak, perlu ada penggiringan calon pelanggan.
Nah, di dalam politik, khususnya di demokrasi, hal tersebut umumnya dilakukan dengan
menjalankan prinsip populisme.
Populisme di
sini kita ambil dari pandangan Edward Shills, yang melihat kampanye politik
dalam sistem politik yang modern kerap membuat seorang politisi menciptakan
narasi “publik vs elite” dalam kampanye-kampanyenya.
Dengan
menciptakan citra bahwa dirinya berpihak pada kelompok publik, politisi ini
membuat kalangan elite, yang biasanya terdiri dari musuh-musuh politiknya,
seperti “boogeyman” yang perlu ditakuti dan dibenci bersama.
Kembali ke
konteks Anies dan pernyataannya soal pemerintah anti kritik. Bisa jadi
sebenarnya selain untuk membuatnya tetap mengudara di media, pernyataan
tersebut juga membuat kelompok dalam masyarakat terbagi-bagi menjadi mereka
yang mendukung pemerintah dan mereka yang menentang pemerintah.
Akhir kata,
tentu ini semua hanya interpretasi belaka. Yang jelas, untuk beberapa bulan
terakhir, sepertinya bisa kita sadari bersama bahwa Anies masih jadi
perbincangan yang begitu gurih di media massa dan media sosial.
0 Komentar