"Kesalahan terbesar kita dalam setiap menghadapi ancaman krisis adalah,
kita sering tidak sadar dan kerap abai untuk melakukan antisipasi dan
menyiapkan jaring pengaman secara terintegrasi dan menyeluruh," ujar
Bamsoet dalam keterangannya, Sabtu (30/7/2022).
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan Presiden Joko Widodo telah
memberikan arahan agar seluruh pemangku kepentingan dapat meningkatkan rasa
krisis atau sense of crisis. Dengan begitu diharapkan bangsa Indonesia menjadi
lebih siap dalam menghadapi krisis apapun di masa depan.
"Jadi yang sering diungkapkan oleh Presiden Jokowi, sense of crisis-nya
ditingkatkan sehingga kita memiliki sensitivitas-sensitivitas ketika
indikator-indikator yang ada bergerak ke arah sana, pada saat yang sama kita
juga bergerak ke arah upaya-upaya penanggulangan krisis. Survival,"
katanya.
Terkait dengan wacana menghadirkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) yang
bergulir di MPR RI, menurut Bamsoet bukanlah wacana yang tiba-tiba hadir tanpa
konteks. Menurut Bamsoet, MPR RI dalam dua kali masa jabatan, yakni periode
2009-2014 dan periode 2014-2019, telah membuat 2 Keputusan MPR untuk
merekomendasikan penyusunan PPHN.
Pertama Keputusan MPR Nomor 4/MPR/2014 yang mengamanatkan dalam rangka
mewujudkan kesatuan sistem perencanaan pembangunan nasional yang
berkesinambungan dan terintegrasi dengan sistem perencanaan pembangunan daerah,
maka perlu dirumuskan kembali sistem perencanaan pembangunan yang tepat, yang
berorientasi pada demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
"Kedua, Keputusan MPR Nomor 8/MPR/2019 merekomendasikan kepada MPR Periode
2019-2024 untuk mengkaji substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara,
termasuk membangun konsensus politik dalam penetapan bentuk hukumnya,"
terangnya.
Dikatakan Bamsoet, kedua rekomendasi tersebut lahir untuk merespons aspirasi
banyak pihak terkait sistem pembangunan berkelanjutan jangka panjang model
GBHN.
"Yang disuarakan antara lain oleh forum akademis (Forum Rektor dan LIPI),
organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, dan organisasi
keagamaan," tuturnya.
Lebih lanjut ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan berdasarkan hasil kajian Badan
Pengkajian MPR RI, bentuk hukum yang paling ideal dari PPHN adalah Ketetapan
MPR, melainkan bukan diatur dalam UUD. Sebab akan sulit dilakukan perubahan
untuk menyesuaikan dengan dinamika zaman.
Tidak juga melalui undang-undang, karena dia menilai haluan negara seharusnya
memiliki pijakan legalitas yang kuat, tidak mudah diajukan judicial review atau
'ditorpedo' dengan PERPPU.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan setelah bekerja selama 2 tahun 9
bulan sejak dibentuk, Badan Pengkajian MPR RI menyimpulkan idealnya PPHN masuk
dalam TAP MPR lewat amandemen terbatas. Adapun hal ini setelah melalui
rapat-rapat pembahasan, diskusi, seminar, focus group discussion, serta
mempertimbangkan aspirasi masyarakat, serta melibatkan para pakar ahli,
praktisi, dan akademisi.
"Namun melihat dinamika politik yang berkembang, perubahan terbatas UUD
tersebut sulit untuk direalisasikan, sehingga disepakati untuk menghadirkan
PPHN tanpa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
tetapi mengupayakan melalui Konvensi Ketatanegaraan," ungkap Bamsoet.
"Penerapan konvensi ketatanegaraan adalah hal yang lazim dalam kehidupan
negara-negara demokratis. Konvensi hadir sebagai rujukan hukum yang tumbuh
dalam praktik penyelenggaraan negara untuk melengkapi, menyempurnakan,
menghidupkan kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat
ketatanegaraan, serta mengisi kekosongan hukum formil yang baku,"
imbuhnya.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini mencontohkan Pidato Tahunan (Kenegaraan)
Presiden setiap 16 Agustus yang tidak diatur dalam konstitusi, namun tetap
dilakukan sejak zaman Orde Baru. Tradisi ini akhirnya diformalkan dalam
Undang-Undang MD3. Demikian pula Sidang Tahunan MPR yang tidak diatur oleh
konstitusi dan tidak diamanatkan oleh undang-undang, namun mengingat urgensinya
dapat diterima, maka akhirnya menjadi konvensi ketatanegaraan.
"Gagasan menghadirkan PPHN melalui Konvensi Ketatanegaraan tersebut juga
telah disampaikan dalam pertemuan konsultasi Pimpinan MPR dengan Presiden pada
tanggal 14 Juli 2022, dan Presiden Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada MPR.
Dengan kesepakatan konvensi ketatanegaraan tersebut yang akan ditindaklanjuti
dengan pembentukan Panitia Ad Hoc dan pengambil keputusannya akan dilakukan
pada Sidang Paripurna MPR RI awal September mendatang, kita memiliki harapan
untuk menuntaskan rekomendasi MPR tentang PPHN, yang telah melewati dua periode
keanggotaan MPR," pungkas Bamsoet.
0 Komentar