Recent in Technology

TANTANGAN WILAYAH URBAN DAN IKN

                   


 Pada tahun 1909, seorang arsitek bernama Daniel Burnham menerbitkan masterplan pengembangan kota Chicago yang dikenal sebagai Plan of Chicago. Dokumen tersebut merupakan solusi atas permasalahan kota yang pada saat itu mengalami perkembangan sangat pesat, namun tidak diikuti dengan perencanaan wilayah yang baik. Pertumbuhan penduduk yang masif mengakibatkan densitas kian buruk dan kemacetan akut. Pada saat yang sama, Chicago menyisakan sedikit fasilitas dan sarana publik, sehingga tidak banyak ruang terbuka bagi masyarakat.


Plan of Chicago pada perjalanannya turut melibatkan pakar sosial dalam mengembangkan arah pembangunan kota yang lebih berkeadilan, karena permasalahan utama Chicago berakar pada kelompok menengah ke bawah, sementara kelompok menengah ke atas menjadi masyarakat yang paling memiliki privilese dalam menikmati pembangunannya. Adapun kontribusi ahli sosial dalam mengatasi masalah di Chicago adalah mengangkat pentingnya tempat tinggal terjangkau, sarana transportasi dan pendidikan yang murah, serta sanitasi yang memadai di kawasan padat.

Dari pengembangan kota ini dapat dipetik pembelajaran bahwa membangun sebuah kota tidak hanya sebatas pada modalitas infrastruktur fisik, namun juga mempertimbangkan aspek sosial dan humanis. Jane Jacobs, pakar Urban dari Pennsylvania AS, pada 1961 menjadi ahli pertama yang menyatakan bahwa perencanaan kota-kota modern telah mengabaikan nilai-nilai sosial dan lokalitas. Hal ini berdampak pada orientasi pembangunan yang hanya bertujuan untuk mencapai manfaat ekonomi dan bisnis serta mengorbankan modal sosial yang seharusnya tumbuh seiring dengan berkembangnya kota.

Tidak jarang ditemukan perencanaan wilayah yang meniadakan eksistensi masyarakat marjinal yang bermukim di wilayah kumuh dan informal. Akibatnya, solusi permasalahan urban justru menjadi persoalan baru. Misalnya penggusuran yang hanya sebatas menghapus lokasi, tapi tidak menyelesaikan soal kemiskinan dan ketimpangan di dalamnya.

Ibu Kota Baru
Membangun ibu kota tentu tidak semata-mata hanya soal infrastruktur dan arsitektur belaka. Dalam perspektif urban planning, ibu kota hendaknya dibangun dalam sebuah sistem yang saling terkoneksi, tidak hanya dalam konteks fisik, namun juga konteks sosialnya. Dengan investasi yang diperkirakan sebesar Rp 466 triliun, jelas pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang dinamai Nusantara juga perlu mengedepankan pentingnya meng-address isu sosial yang berpeluang muncul.

Beranjak pada rencana pembangunan Nusantara yang tidak hanya memindahkan ibu kota, namun juga menggeser manusia secara bertahap ke sana. Kondisi ini kelak tentu akan menghadapi tantangan tersendiri. Maka, terpercik beberapa hal yang kiranya perlu didiskusikan lebih dalam sebagai upaya mitigasi, seperti inklusivitas, urbanisasi, dan sustainabilitas. Hal ini bertujuan agar kelak IKN tidak mengulangi kesalahan Jakarta masa lalu yang lebih mengejar pencapaian fisik, namun terlambat dalam menyelesaikan permasalahan urban.

Pertama, soal inklusivitas. Beberapa pihak memiliki kekhawatiran akan rendahnya partisipasi dan keikutsertaan masyarakat lokal dalam pengembangan IKN. Keadaan ini hendaknya dapat dimitigasi dengan mendorong keterlibatan masyarakat lokal dalam berbagai proses pembuatan kebijakan publik dan dalam kegiatan ekonomi, sehingga masyarakat lokal tidak merasa menjadi "penumpang" di Nusantara kelak.

Perlunya kajian dampak sosial terhadap masyarakat lokal atas pembangunan IKN menjadi relevan untuk memahami pengalaman dan kepuasan mereka. Di sisi lain, pengembangan IKN juga perlu mempertimbangkan berbagai alternatif penyediaan fasilitas publik yang memadai dan memastikan bahwa masyarakat menengah ke bawah dan rentan juga merupakan target pengembangan Nusantara.

Kedua, isu urban. Urbanisasi merupakan permasalahan klasik dari sebuah kota, tanpa menutup kemungkinan untuk terjadi di Nusantara. Urbanisasi akan mendorong terjadinya migrasi masyarakat dari berbagai wilayah. Urbanisasi dapat menjadi manfaat secara ekonomi. Jumlah penduduk yang bertambah akan diikuti oleh belanja ekonomi yang besar, permintaan (demand) yang naik, yang pada gilirannya meningkatkan derajat kesejahteraan kota tersebut.

Urbanisasi juga menjadi kerugian pada saat jumlah penduduk yang bertambah tidak seiring dengan perencanaan urban yang antisipatif. Keadaan ini dapat memicu tumbuhnya zona slum (kumuh) dan informalitas. Sebaliknya, fenomena de-urbanisasi juga dapat terjadi; kota yang dibangun justru ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini juga perlu diantisipasi apabila kota Nusantara justru hanya digunakan sebagai "ruang" kerja, mengingat aparatur pemerintahan yang ada saat ini berdomisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya dan mungkin saja ada keengganan untuk menetap secara permanen di kota baru ini.

Kasus ini sempat terjadi di Naypyidaw, Myanmar. Ibu kota baru ini relatif masih sepi meskipun fasilitasnya memadai, bahkan tidak jarang media internasional menyebutnya sebagai kota hantu. Implikasinya adalah dengan infrastruktur yang disiapkan secara masif oleh pemerintah, Nusantara justru kurang optimal pemanfaatannya sementara ongkos pembangunan cukup mahal.

Ketiga, soal keberlanjutan. Kota yang sustain dapat dimaknai sebagai kota yang ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim. Cape Town, Afrika Selatan barangkali dapat dijadikan objek pembelajaran dalam hal ini. Pada 2015 silam, Cape Town mengalami krisis air yang diakibatkan oleh peningkatan konsumsi yang tidak diiringi oleh kecukupan sumber daya air.

Beberapa tahun kemudian, bencana kekeringan terjadi semakin parah akibat perubahan iklim yang mengakibatkan hilangnya suplai air secara menyeluruh, atau lebih dikenal dengan sebutan "day zero". Kondisi ini, sekali lagi, memberi dampak sosial yang parah; diperkirakan sekitar 10 ribu buruh kehilangan lapangan pekerjaan dengan estimasi penghasilan yang hilang sebesar 400 juta dolar AS. Beberapa pakar mengkritisi lemahnya peran policymakers untuk mengantisipasi terjadinya tragedi tersebut.

Tentu ini menjadi alarm bagi IKN bahwa mengeksploitasi sumber-sumber alami dalam menyokong ibu kota harus berimbang dengan menjaga keberlanjutannya serta mengukur risiko-risiko yang dapat terjadi.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement